Fenomena 'aktivis pampers' yang mencuat di tengah pesta demokrasi Pilkada Kabupaten Garut menjadi sorotan menarik. Istilah ini mengacu pada fenomena aktivis yang merengek dan bertindak tidak bertanggung jawab, alih-alih mengambil langkah yang bijak dan formil dalam menyelesaikan permasalahan. Salah satu kasus yang menjadi pembicaraan adalah seorang aktivis yang menerima pesan anonim melalui media sosial, lalu dengan gegabah mengaitkannya dengan salah satu pasangan calon (paslon) bupati tanpa bukti yang jelas dan langsung menyebarkan tuduhan tersebut ke publik.
Tindakan ini tentu saja menggelikan dan ironis. Sebagai seorang aktivis yang diharapkan menjadi penggerak perubahan dan penyeimbang di tengah dinamika politik, tindakan seperti ini justru merusak nilai-nilai demokrasi yang dijunjung tinggi. Aktivis yang seharusnya menjadi motor edukasi publik dan agen perubahan sosial, malah menciptakan kegaduhan yang tidak perlu, tanpa memverifikasi informasi atau menempuh jalur hukum yang semestinya.
Mengapa Hal Ini Perlu Diluruskan?
1. Menjaga Integritas Demokrasi
Tuduhan tanpa dasar kepada paslon bupati di tengah Pilkada dapat menciptakan persepsi yang salah di masyarakat, merusak citra kandidat, dan memengaruhi hasil demokrasi secara tidak adil. Aktivis memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan informasi yang disampaikan ke publik berdasarkan fakta, bukan asumsi atau kepentingan tertentu.
2. Mengedepankan Jalur Formil
Jika memang ada pelanggaran atau masalah serius, kita berada di Indonesia sebagai negara hukum, bukan hutan belantara. Jalur yang seharusnya ditempuh adalah melapor kepada pihak berwenang, seperti Bawaslu atau aparat penegak hukum. Menyelesaikan persoalan melalui jalur resmi menunjukkan komitmen terhadap keadilan dan integritas, alih-alih menyebarkan isu yang justru memperkeruh suasana.
3. Melawan Disinformasi
Fenomena penyebaran pesan yang tidak terverifikasi di era digital berpotensi besar menjadi alat disinformasi. Ketika aktivis, yang seharusnya menjadi garda depan melawan hoaks, justru terlibat dalam praktik ini, kepercayaan masyarakat terhadap gerakan aktivisme pun ikut tergerus.
4. Membangun Narasi Positif
Alih-alih merengek dan menyebarkan tuduhan tak berdasar, aktivis seharusnya menjadi teladan dalam membangun narasi positif. Menggunakan momentum Pilkada untuk memberikan edukasi politik, menyuarakan program-program kandidat, atau bahkan mengadvokasi isu-isu lokal yang lebih substansial adalah peran ideal yang perlu dijalankan.
Refleksi untuk Aktivis dan Publik
Fenomena ‘aktivis pampers’ ini menjadi pengingat penting bagi kita semua bahwa kemajuan demokrasi tidak hanya ditentukan oleh kandidat yang bertarung dalam Pilkada, tetapi juga oleh peran setiap individu, termasuk para aktivis, dalam menjaga proses demokrasi tetap sehat, transparan, dan beradab. Aktivis harus kembali pada esensi perjuangan mereka: menjadi agen perubahan yang berintegritas dan bertanggung jawab, bukan sekadar merengek tanpa solusi seperti 'pampers' yang hanya menunggu diganti.
Publik pun diharapkan lebih bijak dalam menyikapi isu-isu yang beredar. Penting untuk selalu memverifikasi informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh tuduhan yang tidak berdasar, apalagi di tengah situasi politik yang rawan seperti Pilkada. Pilkada Garut harus menjadi ajang untuk merayakan demokrasi yang bermartabat, bukan sekadar panggung drama tanpa substansi.
0 Komentar :
Belum ada komentar.