SOSIAL

Memahami PKS dan Posisi Kritisnya dalam Lanskap Keislaman di Indonesia

Memahami PKS dan Posisi Kritisnya dalam Lanskap Keislaman di Indonesia

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menjadi salah satu kekuatan politik di Indonesia sejak didirikan pada tahun 1998. Sejarahnya yang berakar dari gerakan mahasiswa dan aliran keislaman yang lebih condong kepada pemikiran Islam politik membuat PKS memiliki ciri khas tersendiri. Namun, dalam perjalanannya, partai ini sering kali dipandang sebagai entitas yang tidak sejalan dengan organisasi masyarakat Islam besar di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

 

Mengapa demikian? Karena PKS lahir dari Gerakan Tarbiyah yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri, terutama di Timur Tengah. Ideologi yang diusung PKS terpengaruh oleh pemikiran Islam politik yang seringkali menekankan penerapan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Namun, pendekatan ini sering kali dianggap tidak selaras dengan semangat moderat yang diusung oleh NU dan Muhammadiyah, yang lebih fokus pada Islam yang inklusif dan toleran.

 

Di sisi lain, NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, yang masing-masing memiliki sejarah panjang dalam mengembangkan paham Islam yang moderat dan ramah terhadap keberagaman. Sedangkan PKS, sering kali dipandang lebih eksklusif dan kaku dalam interpretasi keagamaannya. Ketidakselarasan ini terlihat jelas dalam berbagai isu sosial dan politik, di mana PKS sering kali terlibat dalam narasi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai toleransi dan keterbukaan yang diusung oleh dua ormas tersebut.

 

Kasus Politisi PKS yang Mencoreng Nama Islam

 

Nama PKS kerap tersorot oleh publik karena ulah politisi yang berasal dari partai ini yang tidak merepresentasikan spirit agama islam yang membawa nilai kebaikan. Kasus-kasus korupsi dan skandal politik yang melibatkan tokoh-tokoh PKS menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen partai ini terhadap prinsip-prinsip moral dan etika yang seharusnya menjadi landasan dalam berpolitik. Pada tahun 2013 misalnya, mantan Presiden PKS pada saat itu Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan sebagai terdakwa kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan mendapat ganjaran hukuman 16 tahun penjara. Atau barangkali kita masih terngiang dengan ‘quatrick kasus korupsi oleh Gatot Pujo Nugroho’ pada 2015 silam, yang terbelit dalam kasus pemberian suap kepada hakim PTUN Medan, Korupsi Bansos Sumatera Utara yang merugikan negara hingga 2,2 miliar. Kasus-kasus yang ditengarai politisi PKS tersebut menciptakan kesan bahwa PKS tidak mampu menjalankan amanah dan tanggung jawab sebagai representasi dari suara umat Islam di Indonesia.

 

Selain itu, satu hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa PKS tidak memiliki keterkaitan resmi dengan organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Meskipun ada individu-individu dalam PKS yang berasal dari latar belakang NU atau Muhammadiyah, partai ini berdiri sendiri dan sering kali mengambil sikap yang berbeda dari kedua ormas tersebut. Ini menunjukkan bahwa PKS lebih memilih jalan politik yang kadang bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh organisasi-organisasi tersebut. 

 

Perbedaan pandangan dalam politik sering muncul, terlihat dari dukungan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, yang tidak memilih PKS dalam pemilihan eksekutif, baik di tingkat nasional maupun daerah. Misalnya, pada tahun 2004, 2009, dan 2014, PKS selalu mengajukan kadernya untuk pemilihan presiden, tetapi tidak pernah menang, bahkan hingga 2024. Dalam pemilihan Gubernur 2018, Syahrul Gunawan yang diusung PKS sebagai calon wakil gubernur Jawa Barat dan Mardani Ali Sera untuk gubernur DKI Jakarta juga gagal meraih kursi kepemimpinan. Kekalahan PKS juga terjadi di banyak kontestasi Pilkada Kabupaten/Kota. tidak hanya untuk jajaran eksekutif, pun di tingkat legislatif, PKS sering kali mengalami hal serupa. Contohnya, pada Pileg DPR RI 2024, Hani Firdiani, istri mantan Wakil Bupati Garut 2 periode, yang saat itu mencalonkan diri untuk DPR RI dari daerah pemilihan XI Jawa Barat, yang mencakup Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya. Namun, Hani harus mengubur impiannya untuk duduk di Senayan seperti kader PKS lainnya. Banyaknya kandidat PKS yang gagal dalam mencalonkan diri, baik di jalur eksekutif maupun legislatif, mencerminkan skeptisisme masyarakat Islam terhadap kinerja dan sosok yang diusung dari partai tersebut.

 

Sehingga, dalam konteks keislaman di Indonesia, PKS menghadapi tantangan serius untuk membuktikan bahwa mereka bisa menjadi representasi yang baik bagi umat Islam. Namun, sejarah, ideologi, dan sejumlah skandal politik yang melibatkan politisinya menunjukkan bahwa PKS tidak selaras dengan prinsip-prinsip moderasi dan toleransi yang dijunjung oleh ormas-ormas Islam besar di tanah air. Sudah saatnya untuk mengevaluasi kembali peran PKS dalam politik Indonesia dan mempertimbangkan dampaknya terhadap citra Islam yang damai dan moderat.

0 Komentar :

Belum ada komentar.